Memperingati Hari Bumi 2025, kita dihadapkan pada realitas mengkhawatirkan tentang kerusakan lingkungan global, khususnya deforestasi hutan tropis. Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga duni a telah kehilangan 10,5 juta hektar hutan primer dalam dua dekade terakhir (Global Forest Watch, 2024). Kerusakan ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati tetapi juga memperparah krisis iklim dan memicu fenomena pengungsian iklim (climate refugee). Di tengah tantangan ini, keuangan syariah berkelanjutan melalui instrumen wakaf, zakat, dan sedekah menawarkan solusi inovatif untuk konservasi hutan.

Deforestasi di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dengan kehilangan 30,8 juta hektar tutupan pohon sejak 2001, setara dengan penurunan 19% dari total tutupan hutan. Penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur. Dampaknya multidimensional: memperparah perubahan iklim melalui pelepasan karbon, meningkatkan frekuensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor, serta mengancam kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan. Yang lebih memprihatinkan, kerusakan lingkungan ini telah memicu fenomena climate refugee, dimana masyarakat terpaksa mengungsi akibat bencana lingkungan. Studi kasus menunjukkan bagaimana banjir bandang di Jawa-Sumatera, abrasi pantai di Pantura, dan kebakaran hutan di Kalimantan-Papua telah memaksa ribuan keluarga meninggalkan rumah mereka.

Dalam konteks inilah keuangan syariah berkelanjutan menawarkan solusi strategis. Green Waqf Framework yang dikembangkan BWI dan KNEKS (2022) menjadi terobosan penting dengan memanfaatkan aset wakaf untuk konservasi lingkungan. Indonesia memiliki 57,3 ribu hektar tanah wakaf tersebar di 440,5 ribu lokasi tanah wakaf yang potensial untuk dioptimalkan. Praktik seperti hutan wakaf, sedekah pohon melalui inisiatif Pohon Asuh, dan program adopsi hutan menunjukkan bagaimana filantropi Islam dapat berkontribusi pada restorasi ekosistem. Mekanisme ini tidak hanya membantu pemulihan hutan tetapi juga mengurangi risiko bencana yang memicu pengungsian.

Green Zakat Framework memperluas pemanfaatan zakat untuk program lingkungan. Baznas telah mempelopori penggunaan dana zakat untuk rehabilitasi lahan kritis dan penanaman mangrove. Pendekatan ini menggabungkan konservasi dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan, menciptakan solusi berkelanjutan yang mengatasi akar masalah deforestasi. Sementara itu, Blue Waqf Framework fokus pada perlindungan ekosistem pesisir melalui restorasi mangrove dan terumbu karang, yang juga berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim.

Sinergi antara berbagai instrumen keuangan syariah ini menciptakan ekosistem pendanaan yang komprehensif untuk konservasi hutan. Optimalisasi Sistem Informasi Wakaf (SIWAK) dapat memetakan potensi lahan wakaf untuk penghijauan, sementara kolaborasi dengan filantropi Islam dapat memperluas program adopsi pohon. Integrasi wakaf, zakat, dan dana komersial syariah menciptakan model pembiayaan hybrid yang inovatif untuk restorasi hutan skala besar.

Refleksi Hari Bumi 2025 mengingatkan kita bahwa pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab kolektif. Keuangan syariah berkelanjutan menawarkan pendekatan unik yang memadukan nilai-nilai spiritual dengan aksi nyata konservasi. Melalui optimalisasi Green Waqf, Green Zakat, dan Blue Waqf, Indonesia dapat memulihkan hutannya sekaligus mengurangi risiko climate refugee. Momentum ini mengajak kita semua untuk terlibat aktif - melalui wakaf hutan, zakat lingkungan, atau sedekah pohon - karena menjaga bumi adalah bentuk ibadah yang nyata bagi generasi mendatang.

 
Share:
Hayu Susilo Prabowo Prabowo

Inisiator EcoMasjid dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI