Oleh : KH Hasan Basri
Ketua Umum MUI (1984-1990)
(Diangkat dari Mimbar Ulama No. 161, Juni 1991)
LINGKUNGAN HIDUP
1. Lingkungan Alami
Di antara unsur-unsur sumber daya alam adalah langit (termasuk di dalamnya matahari, bulan, bintang dan benda-benda langit lainnya) dan bumi (termasuk di dalamnya air, tanah, tumbuh-tumbuhan, hewan dan udara) saling berhubungan satu sama lain dan saling mempengaruhi dalam komposisi ekosistem yang serasi dan seimbang dan berjalan serba teratur. Kesemua itu merupakan lingkungan alami yang diciptakan dan diatur oleh Allah SWT. Lingkungan alami yang demikian itu sangat cocok untuk kehidupan manusia karena diciptakannya itu justru untuk kepentingan ummat manusia.
Keteraturan, keserasian dan keseimbangan ekosistem di antara unsur-unsur alam itu disebabkan karena Penciptaan dan Pengaturannya adalah esa, yakni Allah Rabbul 'Alamin. Di dalam Al-Qur'an dilukiskan, bahwa bila ada beberapa Tuhan maka niscaya langit dan bumi ini akan hancur.
Allah berfirman :
"Kalau sekiranya di langit dan bumi ada beberapa Tuhan selain Allah, pastilah langit dan bumi akan hancur. Maha suci Allah, Tuhan Al Arsy, dari apa yang mereka sebutkan". (Al Anbiya : 22).
Bertitik tolak dari itu, maka hanya Allah saja yang berhak diimani, dipuji, disembah, disyukuri dan dimohon pertolongan.
Pemikiran lingkungan menurut Islam mencakup semua usaha kegiatan manusia. Karena itu, Islam memandang lingkungan alami dari dua sudut, yaitu sudut ruang (spatial) dan sudut waktu (temporal). Mengenai sudut ruang, dilihat dari segi perjalanan ekosistem di antara unsur-unsur alam yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sedangkan dari sudut waktu, dilihat dari kegiatan manusia dari suatu masa ke masa, dari suatu kurun ke kurun dan dari suatu generasi ke generasi, yang mempengaruhi terhadap perjalanan ekosistem baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Lingkungan ruang (spatial) mencakup bumi, air, hewan dan tumbuh-tumbuhan serta semua yang ada di atas dan di dalam perut bumi, yang kesemuanya diciptakan oleh Allah untuk kepentingan ummat manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya.
Lingkungan waktu (temporal) merupakan peringatan dan pelajaran bagi manusia melalui pengamatan dan pengkajian terhadap nasib yang menimpa orang-orang terdahulu dalam hal pengelolaan dan pendayagunaan sumber-sumber alam, Islam menyuruh manusia untuk- belajar dari sejarah. Karena dari sejarah itu dapat diperoleh gambaran bagaimana ummat terdahulu berinteraksi dengan alam, bagaimana ganjaran Allah terhadap orang yang taat dan patuh kepada-Nya dan bagaimana pula akibat terhadap orang yang zalim dan membangkang kepada-Nya.
Allah berfirman :
"Katakanlahl Berjalanlah di permukaan bumi, kemudian perhatikanlah akibat orang-orang yang berdusta". (Al An'am : 11).
Pada ayat yang lain Allah SWT menceritakan kehidupan suatu bangsa yang berhasil dan sukses, kemudian mengalami kehancuran disebabkan sikap dan perbuatan mereka yang melawan aturan—Nya. Allah berfirman :
"Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengelola bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka dengan bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada mereka sendiri. Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih, buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-olokannya". (Ar-Rum : 9 — 10).
2. Lingkungan Sosial
Dalam lingkungan hidup, selain bertalian antara manusia dengan alam yang berada di sekitarnya, bertalian pula antara manusia dengan manusia. Lingkungan ini disebut lingkungan sosial. Di dalamnya terjadi interaksi diantara sesama manusia, saling mengisi dan saling mempengaruhi. Terdapat pula di dalamnya institusi-institusi dan lembaga-lembaga masyarakat sebagai upaya dalam mengatur tata kehidupannya guna memelihara kesinambungan dan kelestarian keberadaannya di muka bumi.
Di dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa Allah SWT menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa (kabilah-kabilah) agar mereka berta'aruf satu sama lain. Perbedaan bangsa dan suku bangsa dengan berbagai ciri raga, warna kulit, bahasa, adat istiadat dan budaya bukanlah merupakan faktor-faktor pembeda derajat dan martabat di antara sesama manusia. Derajat dan martabat manusia adalah sama dihadapan Allah, kecuali mereka yang bertaqwa kepada-Nya. Allah berfirman
“Wahai manusia, Kami jadikan kamu dad laki-laki dan perempuan. Dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang". (Al Hujurat: 13)
Lingkungan sosial bersifat dinamis la terus tumbuh dan berkembang dari masa kemasa. Pertambahan penduduk secara deret ukur menimbulkan dampak semakin banyaknya tuntutan keperluan hidup sementara sumberdaya alam serba terbatas. Hal ini mendorong manusia untuk mengembangkan pemikiran guna menggali dan mangeIola alam sebagai upaya memecahkan masalah kebutuhan manusia. Dinamika lingkungan sosial tidak selamanya berjalan secara wajar. Di dalam kedinamikaan itu terjadi kompetisi dan persaingan yang tidak hanya menimbulkan benturan di antara sesama manusia sebagai anggota lingkungan sosial, tetapi juga menimbul-kan perlombaan di antara manusia dalam penguasaan alam. Jadi dinamika lingkungan sosial, di satu fihak mendatangkan ancaman terhadap kelestarian lingkungan sosial dan lingkungan alami.
Islam tidak mengingkari adanya persaingan di antara manusia. Tetapi Islam mengarahkan persaingan itu dalam melakukan kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi lingkungan sosial. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :
"Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Make berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulken kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". (Al Baqarah : 148).
Kehidupan lingkungan sosial bergantung pada sikap hidup dan perbuatan manusia yang berada di dalam lingkungan itu. Dalam hal ini Islam mengajarkan agar manusia berpegang kepada agama Allah, jangan bercerai berai dan selalu mengingat nikmat-Nya. Allah berfirman :
"Dan berpeganglah kamu semua-nya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepada-mu..." (Ali Imran : 103).
Pada ayat lain Allah menjelaskan bahwa manusia akan ditimpa kehinaan kecuali jika mereka berpegang kepada agama Allah dan perjanjian dengan manusia. Allah berfinnan :
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka meliputi kerendahan, yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas". (Ali Imran : 112).
Ayat tersebut menceritakan nasib kaum Yahudi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Walaupun demikian masih ada kaitan dan relevensinya dengan kehidupan manusia secara keseluruhan. Dalam hal hubungan manusia dengan khalik, yakni Allah rabbul 'alamin, Islam mengajarkan agar manusia mendasari sikap hiidup dan perilakunya dengan iman dan taqwa kepada-Nya karena iman dan taqwa itu erat kaitannya dengan turunnya berkah Allah dart langit dan bumi. Al-Qur'an menjelaskan :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dart langit dan bumi, tetapi mereka disebabkan perbuatannya". (Al A’raf : 96).
Lingkungan sosial harus dibangun oleh manusia atas dasar kerjasama yang saling menguntungkan di antara mereka. Di dalam hubungan kerjasama itu harus tercermin tolong-menolong yang mengandung nilai kebaikan dan taqwa. Allah berfirman :
"...Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya". (Al Maidah : 2).
Prinsip lain yang penting dalam pembinaan lingkungan sosial ialah adanya rasa kasih sayang di antara manusia dan tidak saling merugikan. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :
"Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya". (H.R. Bukhari dan Muslim).
“Tidak rusak dan tidak merusak" (H.R. Ibnu Majah).
Lingkungan sosial berkaitan erat hajat manusia, baik hajat kehidupan jasmani maupun hajat kehidupan ruhani. Oleh karena itu, lingkungan sosial yang harus diwujudkan ialah lingkungan sosial yang dapat Menjamin kedua hajat manusia yang essensial seperti tersebut di atas. Kehidupan jasmani bertalian dengan kebutuhan materi sedangkan kehidupan ruhani bertalian dengan kepuasan batin. Agama Islam sendiri mengajarkan kepada manusia agar menjaga keseimbangan antara kehidupan jasmani (lahir) dan ruhani (bathin), kehidupan individu dan masyarakat, serta kehidupan duniawi, dan ukhrawi. Hal ini dilukiskan dalam do'a :
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di ahhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka". (Al Baqarah : 201).
MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP
1. Martabat Manusia
Manusia, seperti halnya langit, bumi dan yang lainnya, adalah makhluk Allah. Karena makhluk Allah, maka manusia adalah bagian dari alam. Walaupun begitu, manusia meru-pakan makhluk yang mulia. Allah SWT menciptakan manusia tidak hanya berbeda dengan makhluk lainnya, tetapi juga memberi kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada yang lainnya. Allah menciptakan manusia dalam wujud sebaik-baik kejadian sebagaimana firman-Nya :
"Sesungguhnya Kami telah men-ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". (At Tin : 4).
Manusia dianugrahi akal. Dengan akal itu manusia bisa berfikir, memilih yang benar dan yang salah, memilih yang baik dan buruk, dan dengan akal itu manusia bisa mengembangkan kehidupannya. Akal itulah yang merupakan kelebihan manusia dibanding makhluk-makhluk lainnya, di samping memiliki indera utama, pendengaran dan penglihatan. Oleh karena itu, Allah SWT bertanya kepada manusia "afala tazakkarun?", afala ta'qilun?", "afala tafakkarun?", dan karena akal itu pula manusia dimintai tanggung jawab atas perbuatan sebagai hasil oleh akalnya. Mengenai kelebihan itu Allah berfirman :
“Katakanlah : "Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan akan fikiran. Tapi sangat sedikit kamu bersyukur”. (Al Mulk : 23).
"Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu sekalian, penglihatan, pendengaran dan hati. Tetapi amat sedikitlah kamu bersyukur". (Al-Mu'minun : 78).
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur". (An Nahl : 78).
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesung-guhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya". (Al Isra : 36).
Dalam hal kesempurnaan wujud dan kelengkapan indera, hati dan akal ayat-ayat tersebut menyuruh manusia agar bersyukur kepada Allah SWT dan semua yang dilakukannya itu akan dituntut tanggung jawabnya. Suruhan dan tuntutan itu sebagai isyarat kepada manusia untuk memanfaatkan apa yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya. Ini dapat difahami, karena setelah manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya kemudian akan dikembalikan dalam bentuk yang seburuk-buruknya kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh.
Kelebihan dan keistimewaan manusia itu menempatkannya sebagai makhluk yang terhormat dan memperoleh, martabat yang tinggi di antara makhluk-makhluk lainnya, bahkan ia dimuliakan oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya :
"Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, dan Kami beri rizki dari yang baik-baik. Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan". (Al Isra : 70).
2. Khalifah di Bumi
Karena martabat manusia yang mulia itu, ia mengemban amanat luhur yang tidak sanggup diemban oleh makhluk-makhluk lainnya. Allah ber-firman :
"Sesungguhnya telah Kami unjukkan amanah kepada langit bumi dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, lalu amanah itu dipikul manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan jahil". (Al Ahzab : 72).
Ayat tersebut sudah mensinyalir bahwa manusia bersifat zalim dan jahil yang memungkinkan tidak dapat melaksanakan amanah yang dipikulkan kepadanya secara baik.
Amanah luhur yang dibebankan kepada manusia berupa tanggung jawab kekhalifahan. Jabatan khalifah yang diberikan kepada manusia itu dikemukakan oleh Allah SWT kepada Malaikat tatkala Ia merancangkan penciptaan manusia setelah terciptanya alam semesta. Hal tersebut dijelaskan dalam Al-Qur'an :
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (Al Baqarah : 30).
Dalam dialog antara malaikat dengan Allah itu, malaikat mengemukakan keberatannya. Para malaikat menduga bahwa manusia yang dijadikan khalifah itu akan membuat kerusuhan dan pertumpahan darah di muka bumi.
" . . . Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Al Baqarah : 30).
Anugerah Allah SWT kepada manusia selain martabat yang mulia dan amanah khalifah, juga segala yang ada di bumi di peruntukkan bagi kepentingan manusia. Allah berfirman :
"Ia yang menciptakan untukmu seluruh apa yang ada di bumi". (Al Baqarah : 29).
3. Tanggung jawab Ke-Khalifahan
Tugas utama manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia ialah beribadah kepada-Nya. Allah berfirman :
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (Az-Zariyat : 56).
Dalam kerangka tanggung jawab ke-khalifahan di muka bumi, manusia berkewajiban untuk melakukan beberapa hal, di antaranya :
Pertama : Berzikir kepada Allah dan bersyukur kepadaNya. Berzikir kepada Allah selain ingat kepadaNya, juga selalu mengingat ciptaan-Nya dan tujuan dari ciptaan-Nya itu. Sedangkan bersyukur kepada Allah, selain berterima kasih atas nikmat dan karunia-Nya, juga memanfaatkan nikmat dan karunia-Nya itu untuk kemaslahatan sesuai dengan tujuan penciptaan dan tuntunan-Nya. Allah menjanjikan akan ingat kepada orang yang berdzikir dan akan melipat gandakan nikmat-Nya itu kepada orang yang bersyukur, sebagaimana firman-Nya :
"Ingatlah kepada-Ku, Aku akan ingat kepadamu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah membangkang". (Al Baqarah : 152).
"Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu mempermaklumkan: "Sesungguh-nya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku amat pedih". (Ibrahim : 6).
Kedua : Merenungkan dan mentafakkuri alam semesta dan alam lingkungan. Hal ini sangat penting, karena merenungkan dan mentafakkuri ciptaan Allah itu akan lebih memperkuat keyakinan akan kebesaran dan kekuasaan Pencipta-Nya, yakni Allah SWT yang berarti akan lebih mempertebal keimanan kepada-Nya. Allah berfirman :
"Katakanlah! Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi". (Yunus : 101).
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana dia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana dia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dia dihamparkan". (Al-Gasiyah : 17-20).
Ketiga : Meneliti dan mengkaji rahasia-rahasia kejadian alam, asal-usul kejadiannya, tujuan kejadiannya dan akhir dari kejadiannya. Dengan tersingkap dan terungkapnya rahasia-rahasia alam itu, selain mempertebal keyakinan akan kebesaran Allah sebagai Penciptanya, juga menambah khazanah pengetahuan tentang alam untuk dimanfaatkan guna kemaslahatan umat manusia. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
"Katakanlah: "Berjalanlah di permu kaan bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Ia memulai kejadian, kemudian Allah membentuk kejadian yang akhir. Allah sesungguhnya Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al An kabut : 20).
Penelitian dan pengkajian ini dibebankan terutama kepada para cendekiawan yang disebut Ulul Albab. Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit-langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulul albab. (Yaitu) orang-orang yang meng-ingat Allah sambil berdiri atau sambil duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya) berkata: "Ye Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Ali Imran : 190 — 191).
Keempat : Mempelajari kehidupan ummat terdahulu. Ini juga penting, karena dengan mengenal perbuatan ummat terdahulu dan akibat yang diterimanya itu apakah berupa kesempurnaan dan kekurangan ataupun keberhasilan dan kegagalan dapat dijadikan pelajaran dalam menata kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hal ini diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya
"Katakanlahl Berjalanlah di permukaan bumi, kemudian perhatikanlah akibat orang-orang yang berdusta". (Al An’am : 11).
Pada ayat yang lain Allah SWT menceritakan kehidupan suatu bangsa yang berhasil dan sukses, kemudian mengalami kehancuran disebabkan sikap dan perbuatan mereka yang melawan aturan Tuhan, sebagaimana tersebut dalam firman Allah surat Ar Rum ayat 9 - 10 yang disebutkan terdahulu.
Kelima : Memelihara kelestarlan alam. Allah menyerukan kepada manusia untuk memanfaatkan alam bagi ke pentingan ummat manusia dan memakmurkannya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an :
"Dia menjadikan kamu dari bumi dan menyerahkan kepadamu untuk memakmurkannya". (Hud : 61).
Dalam memanfaatkan dan memakmurkan bumi itu, Allah melarang, manusia berbuat kerusakan, karena kerusakan alam itu akan mengakibat-kan kerusakan pula bagi manusia. Allah Menjelaskan dalam firman-Nya:
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang bener)". (ar- Rum : 41).
Oleh karena itu, dengan tegas Allah melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi sebagaimana firman-Nya :
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi...” (Al-A'raf : 56).
Dalam konteks nikmat Allah atas segala sesuatu yang ada di dalam ini untuk manusia, memelihara kelestarian alam merupakan upaya untuk menjaga limpahan nikmat Allah secara berkesinambungan. Sebaliknya, membuat kerusakan di muka bumi, akan mengakibatkan timbulnya bencana terhadap manusia. Allah sendiri membenci orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Allah berfirman:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah ber-buat di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan". (Al Qasas : 77).
MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP
Dalam sejarah perkembangan dunia Islam tampaklah bahwa ilmu, teknologi dan filsafat berkembang pesat ketika terdapat keselarasan dalam perkembangan ilmu dan agama. Sejak abad pertama hingga abad ke-tujuh Hijriyah ilmu dan agama tumbuh dalam hubungan yang harmonis.
Isi Al-Qur'an dan Hadits dikaji ulang untuk ditangkap tanda isyarat dan dituangkan dalam ilmu pengetahuan. Fikiran dan falsafat Islam di kembangkan oleh ulama-ulama seperti Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq bin As Shabagh Al-Kindi (abad ke III H), Ah-mad bin Tahyyib As-Sarakhsi dan Muhammad bin Musa adalah ahli-ahli agama Islam, sebelum abad ketujuh Hijriyah, Al Hassan bin Musa termasuk dalam ilmu pasti, Muhammad bin Musa AI-Khuwarzmi menemukan ilmu aljabar, Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razy mengembangkan ilmu kedokteran dan kimia, Syekh Abu Ali Ak-Husein bin Sina dan Abur Rauhan Ahmad bin Muhammad Al-Biruni merupakan tokoh-tokoh ahli ilmu Falak dan Ilmu Bumi Alam.
Kehadiran Al-Qur'an telah mendorong manusia memperdalam pengetahuan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Sehingga sampai abad ke tujuh Hijriyah, Baghdad menjadi pusat falsafat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia ketika itu.
Dalam tahun 656 H atau 1258 Masehi Hulaghu Khan dari dinasti Gengis Khan menyerang Baghdad. Dalam waktu pertempuran 34 hari, sebanyak 1,8 juta manusia dipenggal kepalanya. Ribuan buku dibuang ke sungai. Ulama dan perpustakaan Islam hancur binasa. Sehingga ahli filsafat Arnold Toynbee menyebutnya sebagai kerugian terbesar sepanjang zaman bagi perkembangan peradaban manusia.
Dengan habis terbakarnya Baghdad, perpustakaan dan dibunuhnya ulama dan ilmuwan, maka peradaban manusia surut 5 abad.
Hikmah penting dari masa ini adalah berlangsungnya keselarasan perkembangan antara ilmu dan agama, antara pemikir masalah duniawi dengan pemikir masalah akhirat. Keselarasan dan keterjalinan (interwoven) ilmu dan agama menyebabkan masalah yang dikaji tidak kehilangan "causa" finalisnya, tidak kehilangan maknanya.
Dan yang menjadi pusat perputaran seluruh kehidupan bukanlah manusia. Alam berfikir dan falsafat yang berkembang tidaklah "Anthropocentris", tetapi berpusat kepada Allah SWT.
Manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya. "Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya". (At Tin : 4-6).
Bertolak dari pandangan ini maka dalam diri manusia tersimpul tanggung jawab kepada Allah SWT dalam mengelola bumi dengan segala mahluk, zat dan benda ciptaan Illahi. Ini melahirkan sikap hidup bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan alam. Ia tidak terletak di atas atau di bawah alam. Ia adalah bagian dari lingkungan alam.
Oleh karena manusia diberkahi otak dengan kemampuan berfikir, rasio dan daya cipta, sudah seyogyanya apabila manusia mengembangkan peri-kehidupan dengan mempertimbangkan akibat langkah tindaknya kepada sesama makhluk dan isi alam ini.
Lantas bagaimana upaya melestarikan Lingkungan Hidup? Kiranya kita perlu menjabarkan keputusan Musyawarah Alim Ulama tahun 1983 yang dikemukakan dalam Kata Pendahuluan makalah ini.
Para Ulama selaku pewaris para Nabi harus merasa terpanggil untuk memasyarakatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya lingkungan hidup bagi manusia baik lingkungan hidup alami maupun lingkungan hidup sosial. Para ulama juga harus berupaya menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan hidup dalam rangka memelihara dan melestarikan kehidupan manusia.