Islam Dan Kelestarian Lingkungan
[Muqadimah 1]
Hadirin Jama’ah Jumah yang dirahmati Allah SWT,
Hampir setengah abad yang lalu, tepatnya tahun 1972 di Stockholm, Swedia, diselenggarakan Konferensi PBB yang bertemakan Lingkungan Hidup. Pada kesempatan tersebut disepakati tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Selain itu asas pengelolaan lingkungan yang diharapkan menjadi kerangka acuan bagi setiap negara turut dideklarasikan.
Kini hampir 40 tahun sudah berlalu, namun pada kenyataannya kerusakan lingkungan hidup masih terjadi di mana-mana, baik di negara maju maupun Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kerusakan lingkungan hidup terjadi di daratan dan lautan. Kini kerusakan tersebut sudah pada tarap yang mengkhawatirkan kehidupan manusia di atas bumi. Apalagi kalau manusia tidak segera menyadari dan secepatnya melakukan perbaikan dalam hubungannya dengan alam..
Hadirin Yang Dimuliakan Allah,
Bumi adalah anugerah Allah SWT kepada umat manusia. Manusia diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk tinggal di bumi. Bahkan Allah SWT menyatakan bahwa bumi dan seisinya itu diciptakan untuk umat manusia, sebagaimana dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا…
“Dialah Allah yang telah menciptakan untuk kalian semua yang ada di bumi. (QS. Al-Baqarah [2]: 29)
Karena itu, manusia harus menjaga dan memelihara kelestarian bumi dengan segala isinya. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah manusia mengeksploitasi dan bahkan merusak bumi yang telah diberikan Allah itu. Akibatnya kerusakan lingkungan terjadi di daratan dan di lautan dan telah berakibat fatal terhadap kehidupan umat manusia. Berbagai bencana telah pula terjadi akibat dari dampak kerusakan lingkungan, seperti banjir bandang, tanah longsor, naiknya permukaan air laut, tsunami yang mencapai daratan dengan kekutan penuh sehingga menelan banyak korban jiwa dan harta yang besar, akibat hutan mangroof di pantai dirusak. Kerusakan ozon sehingga menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di bumi, kepunahan species, pencemaran udara, air, dan tanah yang membahayakan kesehatan manusia, dan krisis pangan, telah pula terjadi.
Kerusakan lingkungan hidup terjadi karena adanya keserakahan manusia yang mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Manusia dengan seenaknya merubah hutan menjadi areal perkebunan dan industri, menggunduli hutan secara tidak terkendali, menggali tambang, mencemari lingkungan dengan CO2 dan polusi lainnya, membuang limbah industri secara sembarangan, dan lain lain, yang jelas membawa dampak negatif atas kelestarian lingkungan.
Dalam khutbah ini, khatib akan mengelaborasi bagaimana konsepsi dan filosopi Islam tentang lingkungan dalam hubungannya dengan manusia. Bagaimanakah eksistensi manusia dalam konteks sebagai bagian dari alam ini. Apakah betul bahwa bumi dan seisinya ini telah disiapkan Allah untuk manusia dan manusia tinggal menikmatinya tanpa memikirkan kelestariannya ?
Hadirin Yang Berbahagia,
Ketahuilah bahwa Allah Swt. sudah memperingatkan jauh-jauh hari sebelum manusia memperbincangkan kerusakan alam ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Al-Rum [30]: 41)
Dalam menafsirkan ayat tersebut para ulama berbeda pendapat, mungkin disebabkan pada saat mereka hidup belum melihat adanya kerusakan nyata di muka bumu; di daratan dan di lautan. Namun demikian penafsiran mereka lebih dalam dari sekedar kerusakan fisik. Misalnya Al-Thabari dalam tafsirnya mengartikan kerusakan dengan “kemaksiatan” baik di daratan maupun di lautan akibat ulah tangan-tangan manusia karena manusia melakukan sesuatu yang dilarang. Menurut Mujahid, kerusakan di darat adalah terjadinya pembunuhan terhadap anak Adam, sedangkan di lautan adalah perompakan. Al-Thabari lalu menegaskan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah telah munculnya kemaksiatan di penjuru bumi ini baik di daratan maupun di lautan dengan dosa-dosa manusia dan tersebarnya kezaliman. Al-Qurthubi juga senada dengan Al-Thabari bahwa yang dimaksud kerusakan di sini adalah kemaksiatan. Namun Al-Qurthubi mengatakan bahwa akibat dari kemaksiatan tersebut Allah Swt. Menurunkan azab kekeringan sehingga harga-harga menjadi mahal.
Sedangkan menurut al-Alusi dalam kitab tafsirnya, fasâd juga berupa minimnya hasil panen dalam pertanian, sedikitnya keuntungan dalam perdagangan, banyaknya kematian pada manusia dan hewan, banyaknya peristiwa kebakaran dan tenggelam, kegagalan para nelayan dan penyelam, sedikitnya manfaat, dan banyaknya mudharat.
Jika kita cermati, penjelasan para mufassir itu hanya merupakan contoh kejadian yang tercakup dalam fasad. Artinya, kerusakan yang dimaksud ayat ini bukan hanya peristiwa yang disebutkan itu. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Alusi huruf al-alif wa al-lâm pada kata al-fasâd itu menunjukkan li al-jins (untuk menyatakan jenis). Sehingga kata tersebut memberikan makna umum meliputi semua jenis kerusakan. Semua kerusakan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, moralitas, dan sebagainya termasuk dalam cakupan kata al-fasâd.
Berbagai kerusakan itu tidak terjadi tiba-tiba. Ada pangkal penyebabnya. Menurut ayat ini, pangkal penyebabnya adalah: bimâ kasabat aydî al-nâs (disebabkan karena perbuatan tangan manusia). Ibnu Katsir dan Al-Syaukani sepakat, makna kata kasabat aydî al-nâs adalah perbuatan maksiat dan dosa. Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan terhadap ketentuan syariah-Nya. Bahkan, zhahirnya ayat ini menunjukkan, penyebab semua kerusakan di bumi ini dapat dikembalikan kepada kemaksiatan dan kejahatan manusia. Kenyataan ini juga ditegaskan dalam ayat lain:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS Asy-Syura [42]: 30).
Hadirin yang dirahmati Allah SWT,
Para ulama klasik melihat bahwasanya kerusakan yang terjadi di muka bumi ini adalah akibat rusaknya moral manusia, betapapun saat itu ulama lebih melihat bahwa dampaknya terhadap alam sebagai azab karena moralitasnya. Hal ini dapat dimaklumi karena memang pada masa itu belum terjadi kerusakan lingkungan akibat ulah tangan-tangan manusia. Karena pada saat itu jumlah manusia masih sedikit dan manusia belum memiliki pengetahuan untuk mengeksplorasi sumber daya alam.
Tetapi terlepas dari pandangan ulama tersebut, sebenarnya melalui ayat-ayat yang menyatakan adanya kerusakan di muka bumi ini, Allah Swt. memberikan peringatan dini kepada umat manusia bahwa akan terjadi kerusakan di muka bumi baik di daratan maupun di lautan akibat ulah-ulah tangan manusia yang tidak bertanggungjawab.
Saudara Hadirin Yarhamukumullah,
Bagaimana pandangan Islam tentang lingkungan sudah secara jelas disebutkan dalam Al-Quran, sebagai berikut:
1. Allah menunjuk manusia sebagai khalifah fi al-Ardh
Manusia diciptakan Allah SWT di muka bumi sebagai khalifah (Al-Baqarah: 30). Tugas utamanya selaian menyembah dan beribadah kepada Allah SWT adalah menjaga dan melestarikan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT berupa bumi dan isinya, juga menjaga ketertiban kehidupan di atasnya dan memakmurkannya. Semua fasilitas itu disediakan Allah SWT untuk manusia, namun bukan berarti manusia dapat menggunakannya tanpa aturan. Sebab jika fasilitas Allah SWT tersebut tidak dijaga kelestariannya, maka akan menimbulkan kerusakan di atas bumi dan menimbulkan bencana bagi umat manusia itu sendiri. Sebagai contoh, Allah SWT berikan tumbuhan-tumbuhan sebagai bahan makanan bagi umat manusia, tetapi jika manusia tidak dapat mengaturnya, maka bahan makanan itu tidak akan mencukupi kebutuhan hidup manusia. Akibatnya terjadi krisis pangan dunia. Indikasi ke arah itupun kini sudah ada, seperti terjadinya kelaparan di beberapa Negara Afrika dan bahkan di Negara-negara yang konon katanya menjadi sentra pangan, serta terjadinya lonjakan harga pangan yang disebabkan ketidakseimbangan produksi pangan dan kebutuhan pangan dunia. Tentu fenomena ini akan semakin memburuk, jika manusia terus memperluas areal hidup (space for life) dengan menebangi hutan dan merubah persawahan menjadi perkotaan atau area industri, apalagi diiringi oleh jumlah penduduk dunia yang tidak terkendalikan pula.
Di sisi lain, dalam masalah pendayagunaan minyak bumi. Allah SWT telah memberikan minyak yang berlimpah ruah di dalam perut bumi, kesemuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia akan bahan bakar. Namun jika manusia serakah dengan mengeksploitasi kekayaan minyak di dalam perut bumi tanpa kendali, maka persediaan minyak dalam perut bumi bisa berkurang, bahkan habis. Dan pada gilirannya, anak cucu kita tidak bisa menikmatinya lagi. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan akibat pengeboran minyak di mana-mana. Contoh yang ada di depan mata kita adalah luapan lumpur Lapindo di Sidoardjo. Ratusan rumah warga terendam luapan lumpur akibat tindakan pengeboran yang melanggar prosuder standar dan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan.
Juga, keserakahan manusia terhadap pemberian Allah swt berupa hutan. Allah menciptakan hutan bukan sekedar untuk melengkapi keindahan bumi-Nya, namun ada fungsi yang sangat penting bagi kehidupan makhluk di muka bumi. Di antaranya adalah sebagai penghasil oksigen bagi kehidupan, penyerap karbon dioksida, dan mencegah erosi. Namun demikian seringkali manusia berbuat serakah. Hutan yang sudah diberikan Allah dengan fungsi yang sangat penting itu dirusak, ditebang secara liar dan membabi buta. Akibatnya muncul kebakaran hutan, banjir bandang dan pencemaran lingkungan yang tidak terkendali. Selama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar (illegal loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan itu. Selama 1985-1997, kerusakan hutan di Indonesia mencapai 22,46 juta hektar. Artinya, rata-rata mencapai 1,6 juta hektar per tahun.
Di sinilah, Allah SWT menciptakan manusia dengan misi membawa kebaikan di muka bumi ini. Manusia diberi tugas untuk mengatur dan melestarikan fasilitas-fasilitas Allah SWT di muka bumi ini. Karena itu manusia diberi gelar oleh Allah SWT “Khalifah fil Ardl”. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk ciptaan Allah lainnya, di mana manusia diberi kelebihan untuk dapat berpikir, karena itu Allah mempercayakan manusia sebagai khalifah di bumi ini.
2. Allah Menyuruh Manusia Memakmurkan Bumi
Salah satu tugas manusia adalah memakmurkan bumi, sebagaimana firman Allah SWT:
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا…
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,…” (QS. Hud [11]: 61)
Kata makmur dalam Islam memiliki makna yang lebih luas dibandingkan makna dalam bahasa Indonesia. Dan makna luas itulah yang dipakai dalam Islam. Artinya dalam Islam memakmurkan bumi itu tidak sekedar membuat penghuni bumi (manusia) makmur secara ekonomi tetapi manusia hidup dalam keteraturan dan ketertiban baik menyangkut buminya itu sendiri maupun manusia yang menghuninya. Karena itu, dalam Islam dikenal juga istilah memakmurkan masjid, yang artinya mengurus masjid sehingga masjid dapat berfungsikan secara maksimal. Masjidnya ramai dengan jama’ah dan ada berbagai macam kegiatan. Memakmurkan masjid tidak sekedar membuat masjidnya ramai atau bangunannya terurus, tetapi justru bagaimana mengelola manusia yang berada di dalam masjid dan di luar masjid agar menjadi baik lahir dan batin.
Makna makmur semacam ini sebagaimana dalam firman Allah:
أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُوا الْأَرْضَ وَعَمَرُوهَا أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا…
Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan... ( QS. Al-Rum [30]: 9)
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Al-Taubah [9]: 19)
Dengan pengertian ini, maka yang dimaksud memakmurkan bumi adalah memakmurkan penduduk bumi dan menjaga kelestarian lingkungan alamnya. Dari pemahaman ini sebenarnya sudah nampak bahwa Islam sangat ekosentrisme. Artinya dalam memandang alam ini maka berangkatnya dari alam bukan dari kebutuhan manusia. Manusia ada harus menjadi pemakmur alam dalam artian memakmurkan semua makhluk Allah baik yang hidup maupun yang mati. Karena itu Islam dikatakan rahmatan lil ‘alamin. Artinya Islam rahmat untuk semua alam baik alam yang hidup maupun alam yang mati. Alam yang hidup adalah manusia, binatang, dan tumbuhan sedang yang mati adalah barang tambang dan sejenisnya.
Saudara Hadirin Yarhamukumullah,
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam sejak awal sudah memperingatkan manusia akan bahaya terjadinya kerusakan di atas bumi jika manusia hidup dan tinggal di bumi tanpa menggunakan aturan. Tidak hanya kerusakan fisik pada bumi tetapi juga kerusakan non fisik yang disebabkan kemaksiatan yang meraja lela. Islam lebih jauh dalam melihat kerusakan itu dan melihat sebab-musabab utamanya, yaitu kerusakan moral manusia. Niscaya jika kerusakan moral ini dapat diperbaiki maka sikap manusia terhadap lingkungan pun akan berubah lebih baik lagi.
Hanya kepada Allah kita memohon agar diberi kekuatan untuk senantiasa merawat dan mempelopori gerakan penyelamatan lingkungan dan bertawakkal agar gerakan ini dapat mencapai kesuksesan.
[Muqadimah 2]