Setelah kita menempuh puasa selama sebulan penuh dalam bulan Ramadhan, pada hari raya Idul Fitri manusia diharapkan kembali pada sifat-sifat aslinya ketika ia diciptakan pertama kali. Suatu sifat yang diharapkan membawa keberkahan dan perbaikan bagi individu. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita juga sebagai umat dan bangsa, setelah Ramadhan, sudah terlihat perbaikan dengan meningkatnya “kesalehan sosial” dan bahkan “kesalehan alam” kita.
Kesalehan individu kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dsb. Disebut kesalehan individu karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minannas dan hablum minal ‘alam.
Sedangkan “Kesalehan Sosial dan alam” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial dan peduli lingkungan. Bersikap santun pada orang lain, sangat perhatian terhadap pemecahan masalah-masalah umat manusia dan alamnya, memperhatikan dan menghargai hak sesama makhluk hidup sebagai ciptaan Allah, dan seterusnya. Kesalehan sosial dan alam dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk seluruh makhluk hdup di bumi.
Dengan terjadinya pendemi Covid-19 ini, kesalehan sosial dan alam menjadi penting karena di sinilah sesungguhnya letak urgensi puasa. Sesungguhnya kerusakan yang terjadi dalam hidup manusia disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya. Esensi puasa, secara fiqh, adalah menahan diri dari hawa nafsu.
Dengan Idul Fitri, manusia diharapkan mampu memahami dan menghayati jatidirinya sebagai manusia, mampu mengembangkan dan menjaga sifat-sifat kemanusiaan secara terus menerus. Sehingga, lebih jauh ia mampu mereformasi dirinya kembali agar tetap menjadi manusia yang benar-benar manusia secara terus menerus. Bukan sesaat menjadi manusia kemudian kembali menjadi binatang buas yang melampiaskan segala nafsunya tanpa kendali.
Imam Ghazâlî dalam kitab Ihyâ’ Ulûm al-Dîn menyatakan bahwa sumber segala dosa adalah syahwat perut, dan dari situlah timbul syahwat faraj. Karena banyak kejadian yang telah diceritakan dalam Al-qur’an terkait dengan kesalahan manusia akibat mengikuti syahwat perutnya. Mengikuti hawa nafsu akan menyebabkan seseorang mencari dunia dengan rakusnya dan menyukainya secara berlebih, yang dampak lebih jauhnya juga akan menyebabkan rusaknya lingkungan. Padahal aspek ini jelas tercatat dalam Al Qur'an Surat Al-Furqon (QS 25:43): “Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?”.
Al-Quran menyebutkan bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya, ini tidak berarti bahwa ibadah itu merupakan tujuan akhir penciptaan manusia. Karena beribadah lebih merupakan “kata kerja”. Kalau begitu, untuk apa beribadah? Secara metafisis tujuan ibadah adalah untuk mendapatkan ridha-Nya.
Secara orto-praksis, menjunjung tinggi asma Tuhan berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu ciri yang mencolok dalam konsep peribadatan dalam Islam adalah orientasi praksisnya yang amat humanistik. Hikmah jerih payah dalam menjalankan perintah Tuhan pada akhirnya terpulang kepada manusia yang menjalankannya.
Perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusian adalah sebuah serial panjang sepanjang umur manusia dan eksistensi agama. Hal itu sangat ditekankan di dalam Al-Quran, karena misi Islam untuk rahmat seluruh alam.
oleh: Dr. Hayu Prabowo
Referensi:
Ardiansyah, Fitrian. 2019. Meninggalkan Ramadhan, membawa kesalehan sosial dan alam. https://www.antaranews.com/berita/903642/meninggalkan-ramadhan-membawa-kesalehan-sosial-dan-alam
Helmiati. 2015. Kesalehan Individual dan Kesalehan Sosial. https://uin-suska.ac.id/2015/08/19/meyakini-shalat-sebagai-obat-muhammad-syafei-hasan/
Mimbar Ulama. 2004. Memahami Diri Sebagai Manusia. Mimbar Ulama 315, November 2004