Bumi memiliki atmosfir yang memberikan perlindungan serta mengatur suhu bumi sedemikian rupa sehingga ekosistem yang seimbang dan teratur bekerja sempurna yang mencukupi untuk kehidupan seluruh makhluk di bumi, Allah SWT berfirman “Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran”. (QS. Al-Hijr [15]:19).

Allah SWT juga menyatakan langit atau atmosfer sebagai atap. Layaknya fungsi atap rumah, langit / atmosfer bumi melindungi makhluk hidup di permukaan bumi dari berbagai bahaya yang datang. “Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dan lain-lain)”. (QS. Al-‘Anbya’ [21]:32).

Selain atmosfer yang terbukti melindungi makhluk hidup dari sinar ultraviolet yang berbahaya, atmosfer juga melindungi kehidupan di permukaan bumi dari bahaya benda-benda ruang angkasa yang hendak masuk ke bumi. Atmosfer mampu membakar habis sebagian besar benda-benda tersebut sehingga tidak sampai menyentuh permukaan bumi.

Namun kegiatan ekonomi manusia modern yang ekspoitatif terhadap alam telah menimbulkan polusi yang meningkatkan efek Gas Rumah Kaca (GRK) yang mengakibatkan peningkatan suhu bumi, akibat terperangkapnya panas yang masuk ke bumi. Allah SWT berfirman:

 

وَٱلسَّمَآءِ ذَاتِ ٱلرَّجْعِ  

 

Demi langit yang mengandung hujan” (QS. At-Thariq [86]:11)

Kata “ar-raj’i” yang terdapat di dalam ayat di atas sebenarnya berarti “kembali berputar”. Para mufassir pada umumnya mengartikan “ar-raj’i” sebagai hujan dikarenakan mereka mengamati bahwa langit mampu “mengembalikan” air yang menguap dari permukaan bumi untuk selanjutnya diturunkan kembali sebagai air hujan. Oleh karena itu, terjemahan di atas umum dijumpai hampir di seluruh Al Qur’an terjemahan Bahasa Indonesia. Bila kita kembali menggunakan makna tekstual, maka Surat At Thariq ayat ke-11 di atas bisa berarti “Demi langit yang mengembalikan”.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memungkinkan manusia semakin memahami mekanisme alam semesta. Manusia belakangan mengetahui bahwa tidak hanya air yang dikembalikan oleh langit, namun juga gelombang radio dan sinar inframerah dari permukaan bumi. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, keberadaan GRK alami di lapisan troposfer yang menahan / memerangkap sinar infra merah yang dipancarkan oleh permukaan bumi mampu menjaga temperatur permukaan bumi dalam kisaran yang sesuai untuk perkembangbiakan makhluk hidup. Tanpa GRK alami tersebut, maka permukaan bumi akan sangat panas di siang hari dan sangat dingin di malam hari. Sudah menjadi ketetapan Allah SWT bahwasanya langit, dengan GRK alaminya mampu menjaga temperatur permukaan bumi dalam kisaran yang sesuai untuk kehidupan makhluk-Nya.

Permasalahan yang timbul akibat ulah manusia yang melakukan tindakan dengan menganggap bumi sebagai obyek untuk di exploitasi bukan subyek untuk dijaga untuk kepentingan bersama secara berkelanjutan. Perilaku ini menyebabkan meningkatkan emisi GRK yang akan meningkatkan konsentrasi GRK total di atmosfer berada di atas batas normal yang mengakibatkan kenaikan suhu bumi.

Pemanasan global akan meningkatkan penguapan air permukaan bumi sehingga menimbulkan kekeringan ekstrim. Dengan temperatur yang lebih tinggi, maka jumlah uap air yang dikandung dalam udara akan meningkat pula, sehingga bila hujan akan sangat ekstrim yang mengakibatkan kerusakan. Inilah yang disebut perubahan iklim bumi ini akan menyebabkan cuaca bumi menjadi ekstrim (kekeringan yang ekstrim atau hujan yang ekstrim) yang merusak keseimbangan ekosistem sebagai pendukung kehidupan manusia dan seluruh mahluk bumi.

Akibat perilaku manusia yang eksploitatif terhadap bumi telah mengakibatkan rusaknya keseimbangan ekosistem bumi. Hal ini akan berimbas pada manusia itu sendiri karena meningkatnya gagal panen serta kerentanan ketersediaan air dan pangan dunia yang akan meningkatkan potensi terjadinya kerusuhan sosial dan kerentanan keamanan nasional dan global. Allah SWT telah memperingatkan “Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”. (QS. Al-Baqarah [2]:60).

Fenomena cuaca ekstrim telah kita rasakan saat ini ditunjukan dengan tren Bencana Indonesia Tahun 2009-2019 dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menunjukkan bahwa:

·        Secara umum trend bencana meningkat.

·        Hingga 27 Desember 2019, telah terjadi 3.768 kejadian bencana.

·        Banjir, longsor dan puting beliung masih tetap mendominasi bencana.

Terdapat keterkaitan yang erat antara perubahan iklim dengan aktivitas kehidupan umat manusia di bumi, serta dampak emisi gas rumah kaca (GRK). Ini telah menjadi perhatian negara-negara di dunia. Ketergantungan manusia pada bahan bakar fosil (batubara, minyak & gas bumi) yang mencemari udara dan kegiatan yang merusak lingkungan, telah menimbulkan “kabut”  menumpuk dalam atmosfir yang berdampak pemanasan global yang merubah iklim bumi menjadi ekstrim. Pada surat Ad-dukhan [44]:10-11 Allah Swt telah meperingatkan akan datangnya kabut yang nyata yang akan mengakibatkan paceklik dan kekeringan. Turunnya kabut ini merupakan salah satu dari tanda-tanda datangnya kiamat.

 فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ (١٠) يَغْشَى النَّاسَ هَذَا عَذَابٌ أَلِيمٌ

 

Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata. Yang meliputi manusia, inilah azab yang pedih.   (QS. Ad-dukhan [44]:10-11)

Dalam upaya dan untuk penanganan atas perubahan iklim, maka negara-negara bersatu di bawah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change – Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), untuk menemukan jalan terbaik dan kompromi-kompromi dalam berbagi peran dan kewajiban. Mitigasi dan adaptasi merupakan 2 (dua) aspek kegiatan yang digunakan sebagai instrumen utama dalam menangani dampak-dampak perubahan iklim.

Karena krisis lingkungan hidup dengan berbagai manifestasinya seperti perubahan iklim dan pemanasan global sejatinya adalah krisis moral, karena manusia memandang alam sebagai obyek bukan subyek dalam kehidupan semesta. Maka, penanggulangan terhadap masalah yang ada haruslah dengan pendekatan moral. Pada titik inilah agama harus tampil berperan. Apalagi manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah di bumi (khalifah fi al-ardl) untuk mengemban amanah dan bertanggung-jawab memakmurkan bumi. Amanah ini akan kita pertanggung jawabkan pada hari akhir nanti.

Oleh: Dr. Hayu Prabowo

 

Share:
Hayu Susilo Prabowo Prabowo

Inisiator EcoMasjid dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI