Hutan sebagai anugerah Allah SWT yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia merupakan unsur utama sistem penyangga kehidupan manusia dan merupakan modal dasar pembangunan nasional. Hutan memiliki manfaat, baik ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi agar kehidupan bangsa Indonesia berkembang secara seimbang. Hutan dianggap memiliki peran sentral sebagai penghasil oksigen bagi umat manusia, sehingga Indonesia pernah disebut sebagai paru-paru dunia karena memiliki area hutan yang sangat luas.
Namun, saat ini ancaman kerusakan hutan akibat kebakaran lahan dan hutan merupakan permasalahan serius. Kebakaran lahan dan hutan mengakibatkan bencana asap yang mengancam aspek-aspek kehidupan manusia pada tingkat lokal, nasional, regional bahkan global seperti kerugian ekonomis, ekologis, politis, sosial, kesehatan dan kematian. Kegiatan pembakaran oleh manusia ini harus dapat dihentikan demi masa depan hutan lahan sebagai sumber pakan, pangan dan sandang di Indonesia.
Sejatinya pembakaran hutan ini adalah akibat manusia modern memandang alam lebih sebagai obyek dari pada subyek. Akibatnya, terhadap alam manusia lebih tampil sebagai perusak tinimbang pengembang. krisis lingkungan hidup tersebut berdimensi banyak, namun sejatinya bersifat krisis moral. Memang banyak faktor picu terhadap terjadinya krisis lingkungan hidup, dari wawasan dan gaya hidup manusia modern hingga kebijakan negara dan kekerasan pemodal (capital violence), namun yang tidak bisa diingkari adalah pandangan moral manusia terhadap alam yang keliru.
Oleh karenanya, penanggulangan terhadap masalah yang ada haruslah dengan pendekatan moral. Pada titik inilah agama harus tampil berperan lebih untuk mengingatkan manusia agar dapat menahan diri untuk tidak melakukan kerusakan. Fatwa MUI no. 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan Dan Lahan Serta Pengendaliannya.merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pencegahan kebakaran yang merupakan kegiatan inti dari pengendalian karhutla. Fatwa ini menetapkan mengharamkan perbuatan pembakaran yang menimbulkan kemudharatan, termasuk perbuatan memfasilitasi, membiarkan dan mengambil keuntungan atasnya. Namun apabila terjadi karhutla maka kemudharatan tersebut harus dihilangkan dengan cara memadamkannya.
Kerjasama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) dapat meningkatkan pemahaman masyarakat desa terhadap pengelolaan lingkungan yang baik, melalui:
· Pengembangkan Eco-Masjid pada desa-desa gambut yang berada dalam kawasan target dan masyarakat sekitar dengan munggunakan sampah sebagai bahan bakar proses penyulingan,
· Melakukan pelatihan Pengolahan Lahan tanpa Bakar (PLTB) kepada para petani gambut di sekitar masjid atau lingkungan pesantren MUI, dan
· Sosialisasi dan penerapan Fatwa MUI No 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan serta Pengendaliannya.
Restorasi gambut akan berjalan baik jika berpijak pada partisipasi masyarakat. Dengan demikian, restorasi gambut tidak boleh menghilangkan hak, mengurangi akses ataupun merugikan masyarakat yang ada di sekitar kegiatan restorasi. Pelaksana restorasi gambut meliputi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan; masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal; instansi Pemerintah atau pemerintah daerah; atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau Pemerintahan Daerah. Dalam pelaksanaan restorasi gambut BRG menggunakan pendekatan 3R yakni, Rewetting (pembasahan), Revegetasi (penanaman), dan Revitalisasi mata pencaharian masyarakat gambut.
Salah satu program yang dirancang oleh BRG dan para mitra untuk memulihkan ekosistem gambut dengan melibatkan desa/kelurahan adalah Desa Peduli Gambut (DPG). DPG Merupakan salah satu bagian dari fungsi penghimpunan dan pengakomodasian partisipasi perusahaan konsesi maupun non-konsesi dan dukungan masyarakat dalam restorasi gambut.
Dalam rangka lebih mengoptimalkan pencapaian sasaran dan target kinerja BRG, masih perlu melibatkan peran dari semua pihak termasuk membangun kemitraan dengan pihak-pihak mitra pembangunan dalam dan/atau luar negeri badan usaha, dan perusahaan nonprofit. Hubungan kemitraan antar BRG dengan seluruh lembaga serta institusi terkait di Indonesia, dapat menciptakan komitmen yang lebih kuat dalam menyukseskan kegiatan restorasi gambut. Untuk itu diperlukan pedoman yang berfungsi memberikan petunjuk dan acuan dalam melakukan hubungan kemitraan antara BRG dengan berbagai pihak.
Oleh: Dr. Hayu Prabowo