Integrasi Ilmu Dan Agama Dalam Memaknai Lingkungan Hidup
[Muqadimah 1]
Hadirin Jamaah Jumat yang dirahmati Allah Swt
Selaku hamba Allah yang lemah dan tidak berdaya, kecuali semua kekuatan itu diberikan atas izin Allah swt, maka marilah setiap saat dan waktu kita bermunajat dan meningkatkan taqwa kepada-Nya dengan harapan kita selalu diberi keberkahan kesehatan, keafiatan, iman yang teguh, sehingga kita semua akan dapat meninggalkan dunia ini suatu ketika kelak dalam keadan husnul khatimah.
Jama’ah yang berbahagia
Tiga tahun yang lalu, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah Conference of Parties Ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change, 3-14 Desember 2007 di Bali. Tampaknya, sejak saat itu, problem global lingkungan hidup, khususnya mengenai pemanasan global mulai mendengung sangat santer di Indonesia.
Konferensi tersebut tampaknya cukup menguntungkan untuk negara Indonesia dalam mempermudah sosialisasi penanaman pemahaman mengenai pemanasan global untuk masyarakat Indonesia sendiri. Karena isu pemanasan global yang telah muncul sejak revolusi industri sekitar tahun 1850 belum begitu familiar bagi masyarakat Indonesia. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena Protokol Kyoto yang menjadi payung hukum internasional penanganan Global Warming juga hanya mencantumkan penanganan untuk negara-negara maju, sehingga untuk negara berkembang hal ini masih sangat jauh dari apresiasi masyarakatnya.
Islam Diin yang Syaamil (Integral), Kaamil (Sempurna)dan Mutakaamil Menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia adalah sistem hidup yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, hal ini didasarkan pada firman ALLAH SWT : "Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan AKU cukupkan atasmu nikmatku, dan Aku ridhai Islam sebagai aturan hidupmu." (QS. 5 : 3). Oleh karena itu aturan Islam haruslah mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya.
Pelestarian alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari peran manusia, sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana yang disebut dalam QS Al-Baqarah: 30 (“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”…). Arti khalifah di sini adalah: “seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara”. Di samping itu, Surat Ar-Rahman, khususnya ayat 1-12, adalah ayat yang luar biasa indah untuk menggambarkan penciptaan alam semesta dan tugas manusia sebagai khalifah.
Hadirin yang dirahmati Allah Swt
Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat. dalam dua bukunya “Man and Nature (1990)” dan “Religion and the Environmental Crisis (1993)”, yang disajikan sebagai berikut:
“……Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this power only because he is the vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic make up, not as a rebel against heaven.”
Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup).
Allah telah memberikan tuntunan dalam Al-Quran tentang lingkungan hidup. Karena waktu perenungan, hanya beberapa dalil saja yang diulas sebagai landasan untuk merumuskan teori tentang lingkungan hidup menurut ajaran Islam.
Dua dalil pertama pembuka diskusi ini bersumber Al Qur’an.
بَدِيۡعُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِؕ …
Dalil pertama adalah dia “Allah pencipta langit dan bumi (alam semesta)... (QS. Al-An’am [6]: 101)
وَاِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلٰٓٮِٕكَةِ اِنِّىۡ جَاعِلٌ فِى الۡاَرۡضِ خَلِيۡفَةً…
”dan ingatlah ketika Tuhan berfirman kepada para malaikat aku akan menjadikan khalifah di bumi... ” (QS. Al Baqarah [2]: 30)
Lalu dalil kedua menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Perlu dijelaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi itu bukan sesuatu yang otomatis didapat ketika manusia lahir ke bumi. Manusia harus membuktikan dulu kapasitasnya sebelum dianggap layak untuk menjadi khafilah.
Seperti halnya dalil pertama, dalil ke tiga ini menyangkut tauhid. Hope dan Young (1994) berpendapat bahwa tauhid adalah salah satu kunci untuk memahami masalah lingkungan hidup. Tauhid adalah pengakuan kepada Ke-Esa-an Allah serta pengakuan bahwa Dia-lah pencipta alam semesta ini. Perhatikan firman Allah dalam Surat
اِنِّىۡ وَجَّهۡتُ وَجۡهِىَ لِلَّذِىۡ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ حَنِيۡفًا وَّمَاۤ اَنَا مِنَ الۡمُشۡرِكِيۡنَۚ
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS. Al An’am [6]: 79)
Dalil ke empat adalah mengenai keteraturan sebagai kerangka penciptaan alam semesta seperti firman Allah dalam Surat Al An’aam, dengan arti sebagai berikut, “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang..”
Adapun dalil ke lima dapat ditemukan dalam Surat yang menjelaskan maksud dari penciptaan alam semesta,
وَهُوَ الَّذِىۡ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ فِىۡ سِتَّةِ اَ يَّامٍ وَّكَانَ عَرۡشُهٗ عَلَى الۡمَآءِ لِيَبۡلُوَكُمۡ اَيُّكُمۡ اَحۡسَنُ عَمَلًا ؕ وَلَٮِٕنۡ قُلۡتَ اِنَّكُمۡ مَّبۡعُوۡثُوۡنَ مِنۡۢ بَعۡدِ الۡمَوۡتِ لَيَـقُوۡلَنَّ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡۤا اِنۡ هٰذَاۤ اِلَّا سِحۡرٌ مُّبِيۡنٌ
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata"..” (QS. Huud [11]: 7)
Jama’ah Jumat yang di rahmati Allah Swt
Itulah salah satu tujuan penciptaan lingkungan hidup yaitu agar manusia dapat berusaha dan beramal sehingga tampak di antara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah.
Dalil ke enam adalah kewajiban bagi manusia untuk selalu tunduk kepada Allah sebagai maha pemelihara alam semesta ini. Perintah ini jelas tertulis dalam Al Qur’an, yaitu :
ذٰ لِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمۡۚ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ خَالِقُ كُلِّ شَىۡءٍ فَاعۡبُدُوۡهُۚ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ وَّكِيۡلٌ
“..Dialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu” (QS. Al-An’am [6]: 102)
Dalil ke tujuh adalah penjabaran lanjut dari dalil kedua yang mewajibkan manusia untuk melestarikan lingkungan hidup. Adapun rujukan dari dalil ini adalah Surat diterjemahkan sebagai berikut;
وَلَا تُفۡسِدُوۡا فِى الۡاَرۡضِ بَعۡدَ اِصۡلَاحِهَا وَادۡعُوۡهُ …
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNya...” (QS. Al-A’raaf [7]:56)
Selanjutnya dalil ke delapan mengurai tugas lebih rinci untuk manusia, yaitu menjaga keseimbangan lingkungan hidup, seperti yang difirmankanNya dalam surat
وَالۡاَرۡضَ مَدَدۡنٰهَا وَاَلۡقَيۡنَا فِيۡهَا رَوَاسِىَ وَاَنۡۢبَتۡنَا فِيۡهَا مِنۡ كُلِّ شَىۡءٍ مَّوۡزُوۡنٍ
”Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran “. (QS. Al-Hijr [15]: 19).
Dalil ke sembilan menunjukkan bahwa proses perubahan diciptakan untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) bumi. Proses ini dikenal dalam literatur barat sebagai: Siklus Hidrologi.
Dalil ini bersumber dari beberapa firman Allah seperti Surat Ar Ruum 48, Surat An Nuur 43, Surat Al A’raaf 57, Surat An Nabaa’ 14-16, Surat Al Waaqi’ah 68-70, dan beberapa Surat/Ayat lainnya. Penjelasan mengenai siklus hidrologi dalam berbagai firman Allah merupakan pertanda bahwa manusia wajib mempelajarinya. Perhatikan isi Surat Ar Ruum: 48 dengan uraian siklus hidrologi berikut ini. Hujan seharusnya membawa kegembiraaan karena menyuburkan tanah dan merupakan sumber kehidupan.
Hadirin Jamaah Jumat yang berbahagia
Ada dua pendekatan dalam memaknai lingkungan hidup
1. Pendekatan Teologis
Disadari bahwa al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam (kosmogoni) dan lebih spesifik lagi lingkungan hidup. Namun, bukan berarti bahwa al-Qur’an tidak memberikan perhatian yang serius terhadap lingkungan hidup. Mungkin dengan alasan bahwa pada saat al-Qur’an diturunkan masalah lingkungan hidup belumlah menjadi masalah yang mendesak, masalah minimnya al-Qura’an dalam membahas masalah alam dapat dijawab. Sekarang, kiranya yang penting dibicarakan bukanlah mempermasalah keminiman al-Qur’an yang membicarakan tetang alam tetapi justru sebaliknya bagaimana menggunakan sedikit teks atau ajaran-ajaran di dalam al-Qur’an yang membicarakan tentang alam tersebut dan mengembangkan dasar-dasar teologis atau pun mungkin juga masalah fikih, dengan tujuan menyediakan perspektif baru bagi umat Islam agar semakin peduli terhadap alam dan lingkungan hidup.
Dalam bagian tertentu al-Qur’an dikatakan bahwa Allah adalah pemilik yang mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal disamping pemeliharanya yang maha pengasih. Karena kekuasaan-Nya yang mutlak maka jika Allah hendak menciptakan langit dan bumi, maka Dia berkata kepada keduanya: “Jadilah kalian, baik dengan suka maupun dengan terpaksa!”(41: 11).
Secara implisit, teks yang baru saja disebutkan di atas dalam arti tertentu dapat diangkat menjadi suatu dasar teologi bagaimana Allah memperlakukan alam. Dalam teks tersebut dikatakan bahwa “Allah adalah pemilik dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal di samping pemeliharanya yang Maha Pengasih”. Melalui teks itu ditunjukkan bahwa Allah sendiri sebagai pencipta alam semesta begitu mengasihi apa yang Ia ciptakan. Jika makna ungkapan itu ditarik agak luas, maka sangat mungkin sekali untuk dikatakan bahwa semestinya manusia dan alam, sebagai sama-sama bagian dari alam semesta, saling kasih mengasihi seperti Allah sendiri yang juga mengasihi mereka sebagai ciptaan-Nya.
Selanjutnya, di dalam pemahaman mengenai konsep-konsep kosmologis al-Qur’an, ciptaan Allah memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Ciptaan Allah di seluruh jagad raya ini secara jelas disebutkan sebagai “ayat-ayat” Allah, misalnya dalam disebutkan bahwa;
اِنَّ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاخۡتِلَافِ الَّيۡلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الۡاَلۡبَابِ
“ Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar)”. (Ali Imran [3]:190)
Penghargaan yang cukup tinggi terhadap ciptaan Allah atau unsur-unsur alam terdapat juga dalam pandangan berberapa tokoh Islam, misalnya adalah al-Jahiz ketika membahas persoalan penafsiran mataforis fakta-fakta tekstual al-Qur’an dalam bukunya al-Hayawan. Di sana dikatakan bahwa ada orang-orang yang menduga bahwa batu merupakan makhluk berakal, berdasarkan Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 74”…dan di antaranya (di antara batu) sungguh ada yang meluncur karena takut kepada Allah…,” sebagaimana ada yang menduga bahwa ada nabi-nabi untuk lebah-lebah berdasarkan QS. al-Nahl: 68, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”.
Beberapa petikan ayat-ayat al-Qur’an yang dikemukakan di atas kiranya semakin memperkuat bukti bahwa ada cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang dapat diangkat dan dijadikan semacam pedoman teologis guna membangun atau memperkokoh pendapat bahwa al-Qur’an secara langsung memberikan tempat yang penting terhadap ciptaan Allah dan unsur-unsur alam. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan pendapat-pendapat di atas rasanya tidak ada cukup alasan yang kuat bagi manusia untuk seenaknya melakukan eksploitasi terhadap alam dan ciptaan Allah yang lain. Sebaliknya, diharapkan akan muncul kesadaran dan kehendak mereka untuk menghargai alam dan ciptaan lain sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan cukup tinggi bahkan dekat dengan Allah.
Hadirin yang berbahagia,
2. Pendekatan Fikih
Dalam pendekatan teologis di atas, alam dan unsur-unsur ciptaan lain coba dipahami sebagai ciptaan Allah yang memiliki kedekatan sedemikian rupa dengan pencipta-Nya. Pemahaman tersebut sudah sangat bagus, akan tetapi rasanya masih kurang memadai. Artinya, rasanya perlu ada pendekatan lain yang lebih kuat untuk mengangkat ke permukaan persoalan lingkungan hidup serta bagaimana cara menanganinya. Pendekatan lain yang dimaksud adalah pendekatan fikih.
Mengapa pendekatan fikih perlu dalam membahas masalah lingkungan hidup, pertama-tama karena fikih yang berarti juga sebagai sistem pemikiran hukum Islam dapat memberikan kepastian bagi mereka yang meyakininya. Dengan adanya kepastian tersebut orang atau umat Islam menjadi tidak ragu-ragu lagi bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah yang memang penting untuk diperhatikan. Selanjutnya, kepastian tersebut dapat diharapkan menjadi suatu sumber motivasi yang sangat kuat bagi umat Islam khususnya untuk semakin peduli terhdap lingkungan hidup.
Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan hidup, dan tanggung jawab manusia terhadap alam banyak dibicarakan. Hanya saja, dalam pelbagai tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hidup hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini
Melihat situasi modern saat ini yang dengan jelas-jelas ditandai oleh kerusakan lingkungan hidup yang begitu dahsyat, rasanya fikih tentang lingkungan hidup perlu dikembangkan terus-menerus agar dapat menjawab kebutuhan zaman yang semakin menekankan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup. Dengan kata lain, pengembangan fikih lingkungan hidup kini bisa menjadi suatu pilihan penting di tengah krisis-krisis ekologis yang secara sistematis disebabkan oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi.
Islam sebagai agama yang secara organik memperhatikan manusia dan lingkungannya, memiliki potensi amat besar untuk melindungi bumi. Dalam al-Quran sendiri kata 'bumi' (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam. Di bagian lain komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan hidup juga banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam QS 2:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS 45:13; dan sebagainya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi.
Dalam kerangka pemikiran tersebut di atas, maka melindungi dan merawat lingkungan hidup menjadi semakin jelas sebagai suatu kewajiban setiap Muslim. Oleh karena itu, rasanya sangat perlu sekali gagasa-gasan yang telah terungkap di atas diintegrasikan dan disosialisaikan kepada segenap umat Muslim dan selanjutnya pada masyarakat luas dengan cara yang baru. Dalam hal ini, di Indonesia khususnya, para ulama memiliki peran penting untuk mewujudkan gagasan-gagasan yang telah dikemukakan di atas. Sebagai pribadi yang diberi label penerus para Nabi, ulama mempunyai kewajiban untuk memberikan sumbangsih riil bagi pembumian konsep fikih lingkungan hidup. Ulama harus meyakinkan publik bahwa tanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup menjadi “beban” setiap Muslim, bukan hanya institusi atau lembaga. Terlebih dalam konteks keindonesiaan, pembumian konsep fikih lingkungan hidup terasa menjadi demikian mendesak mengingat maraknya bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup.
Pandangan teologis dan fikih tentang lingkungan hidup yang telah diuraikan di atas, diyakini akan sangat bermanfaat untuk menanggapi krisis lingkungan hidup dan menyediakan landasan dasar motivasi bagi umat Muslim yang hendak mewujudkan perhatian dan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup. Dalam konteks negara Indonesia, yang lebih dari 80 % penduduknya adalah umat Muslim, tanggungjawab, kepedulian dan perhatian terhadap lingkungan hidup tersebut pastilah akan memiliki dampak yang luar biasa besarnya, bagi terwujudnya keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Agama Islam adalah salah satu agama yang memiliki penganut cukup besar di dunia. Dalam arti terntu Islam dapat menjadi agama yang berperan penting dalam usaha menyelamatkan bumi dari krisis yang dihadapinya. Paling tidak, ada dua cara yang dapat dilakukan Islam sebagai wujud tanggapan atas masalah kerusakan lingkungan hidup. Yang pertama adalah dengan cara menyerukan lebih lantang dimensi teologis tentang alam serta relasinya dengan Allah sebagai sumber iman Islam. Kedua, dengan melakukan pengembangan fikih atas lingkungan hidup yang lebih memadai dan lebih luas. Diharapkan, melalui dua cara tersebut akan ada perubahan yang signifikan bagi penganut Islam yang nantinya juga berarti bagi kebaikan ekologi bumi.
Sains dan agama merupakan dua sisi yang selama ini banyak mengalami perdebatan dan pertentangan. Titik temu antara keduanya seolah sangat sulit untuk ditemukan karena sains selalu lebih mengedepankan sisi rasionalitas serta agama hanya dapat berperan anatar urusan manusia dengan Tuhannya.
Dalam berbagai penanganan yang ditawarkan untuk menyelesikan problem global lingkungan hidup, belum mencakup sisi agama. Namun, dalam makalah ini dikarenakan ada kesamaan data yang didapatkan dari data-data sains dan dari data kitab klasik yang berbasis pandangan agama, maka akan dinyatakan mengenai pertemuan ini beserta berbagai fakta dan prediksi. Namun, sebelum menuju ke analisa mengenai pertemuan tersebut, akan diulas terlebih dahulu mengenai posisi sain dan agama dalam berbagai problem lingkungan hidup.
Konflik dalam agama dan sains dimulai dengan perbedaan permasalahan yang mereka bidik. Agama mencoba untuk menelaah tanpa mengesampingkan berbagai realitas mengenai eksistensi Tuhan. Sains dalam sisi lain mencoba untuk mengujicobakan semua hipotesa dan teori terhadap ‘pengalaman’. Agama tidak dapat melakukan langkah ini yang melanggar pada bagian dari kebijaksanaan, klaim skeptis, maka di sini memunculkan sebuah “konflik” sains dan cara pemahaman agamis.
Namun, perlu diingat konflik ini tidak sepenuhnya menjadi konflik ketika dalam beberapa persinggungan antara sains dan agama cukup membuka peluang untuk penyelesaian permasalahan berbagai krisis ekologis ini. Utamanya, dalam proses penyelesaian permasalahan isu pemanasan global.
Sains dan agama yang mempunyai perbedaan cara pandang dan interpretasi, namun dalam berbagai problem untuk penyelamatan bumi, maka di sini menjanjikan terjadinya dialog antara theology dan sains. Hal ini dapat dilihat dalam penyelesaian problem pemanasan global
Semoga khutbah yang singkat ini dapat bermanfaat buat kita semua, amin
[Muqadimah 2]