يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183)
Sebagai salah satu ibadah yang paling agung, puasa / shaum merupakan sarana untuk melatih seorang Muslim agar memiliki kecerdasan emosional dan mental yang sehat. Shaum melatih seorang hamba untuk mengendalikan hawa nafsunya dari berbagai godaan untuk mencapai kesempurnaan akhlak. Manusia telah dikaruniai akal dan nafsu, jika seseorang mampu menggunakan akal dan mengendalikan nafsunya maka kedudukannya beberapa derajat di atas malaikat akan tetapi jika seseorang tidak mampu menggunakan akal dan menjadikan nafsu sebagai tuannya maka kedudukannya jauh lebih hina dari binatang. Kegiatan menjaga dan memakmurkan bumi adalah refleksi dari akhlak orang beriman untuk mencapai ketakwaan.
Hidup kita sebagai Muslim hendaklah menurut garis yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an dan diajarkan prakteknya oleh Nabi Muhammad s.a.w. Tetapi petunjuk suci itu tidaklah akan dapat kita jalankan, kalau jiwa kita tidak terlebih dahulu mendapatkan latihan. Jiwa kita harus dimerdekakan daripada pengaruh syahwat kita sendiri, syahwat perut dan syahwat faraj.
Kedua syahwat ini perlu bagi hidup kita. Kalau tidak ada syahwat perut untuk makan dan minum, kita akan mati kelaparan. Kalau tidak ada syahwat faraj, hubungan di antara laki-laki dengan perempuan, manusia akan punah dari permukaan bumi ini. Sebab itu maka kedua macam syahwat itu, perut dan faraj, adalah kemestian untuk hidup.Tetapi kalau tidak ada latihan untuk membebaskan jiwa dan meningkatkannya kepada hidup yang lebih mulia, hidup dengan kepercayaan dan cita-cita, maka syahwat perut dan faraj itu pulalah yang akan menjatuhkan derajat martabat manusia, turun ke bawah, kembali kepada sifat binatangnya, atau yang disebut hayawanunnathiq, binatang yang berfikir.
Sejatinya, Tafkir (pemikiran) wal Tadabbur (penelitian) adalah suatu perkara yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dengannya membedakan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain dari ciptaan Allah ta'ala. Al-Ghazali menyebutkan bahwa manusia sebagai Hayawan Nathiq, yakni hewan yang berfikir. Kata hewan disini yang dimaksudkan oleh Al-Ghazali bukanlah hewan bermakna binatang, melainkan bermakna makhluk yang dapat berbicara, yang kemudian dibedakan dari makhluk lainnya oleh Allah ta'ala dengan diberi akal. Kalau syahwat perut dan faraj-nya yang tertonjol, manusia itu akan lebih kejam dan ganas daripada binatang. Dia akan berusaha mencapai apa yang dikehendakinya dengan tidak memperdulikan hak orang lain.
Imam Ghazâlî dalam kitab Ihyâ’ Ulûm al-Dîn menyatakan bahwa sumber segala dosa adalah syahwat perut, dan dari situlah timbul syahwat faraj. Karena banyak kejadian yang telah diceritakan dalam Al-qur’an terkait dengan kesalahan manusia akibat mengikuti syahwat perutnya. Mengikuti hawa nafsu akan menyebabkan seseorang mencari dunia dengan rakusnya dan menyukainya secara berlebih, yang dampak lebih jauhnya juga akan menyebabkan rusaknya lingkungan.
Menurut Imam Ghazâlî, lapar merupakan hal yang utama dalam mengendalikan syahwat. Itulah sebabnya Rasulullah Shollahialaihiwassalam menyuruh umatnya untuk memerangi syahwat dengan lapar dan haus, karena pahala dalam hal itu seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah, dan tiada amal yang lebih disukai Allah Ta'ala daripada lapar dan haus.
Oleh: Dr. Hayu Prabowo