Latar Belakang

Salah satu persoalan besar yang dihadapi umat manusia pada era globalisasi ini adalah persoalan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ketidakmampuan manusia mengelola lingkungan tempat ia hidup. Hal tersebut pada akhirnya menimbulkan sederet bencana alam yang terjadi di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Dalam berapa tahun terakhir ini, jumlah bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan ekologi terus meningkat, degradasi lingkungan, banjir, kekeringan dan peningkatan suhu dan cuaca ekstrim merupakan beberapa bentuk bencana yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia.

Economic and Social Commission for Asia and the Pacific dari PBB merilis laporan Summary of the Asia-Pacific Disaster Report 2019 yang menemukan bahwa lanskap risiko regional, atau "riskcape" risiko bencana melampaui ketahanan, yaitu kerugian bencana terus melebihi pertumbuhan ekonomi kawasan. Bila bencana yang timbul pada 2019 ditambahkan ke lanskap risiko kawasan, kerugian ekonomi tahunan empat kali lipat dengan kerugian rata-rata tahunan $675 miliar, di mana $405 miliar atau 60 persen, merupakan kerugian pertanian terkait kekeringan, terutama di ekonomi pedesaan.

Bentang risiko baru diperparah dengan kompleksitas bencana yang lebih besar. Laporan tersebut menunjukkan bahwa bencana dalam dua tahun terakhir melebihi dari yang sebelumnya dialami kawasan tersebut, baik dalam aspek probabilitas, intensitas, dan perilaku. Dalam hal ini, diidentifikasi empat hal yang menjadikan pendorong konvergensi risiko: Konsentrasi tinggi masyarakat miskin yang terpapar pada lingkungan yang rapuh, banyaknya bencana, kerugian bencana yang besar dan kerentanan pengurangan kemiskinan.

 

Ancaman Iklim dan Percepatan Hilangnya Keanekaragaman Hayati

World Economic Forum dalam The Global Risks Report 2020 menyatakan bahwa perubahan iklim semakin ekstrim dari yang diperkirakan banyak ahli. Lima tahun terakhir merupakan peningkatan suhu tercepat dalam sejarah, bencana alam menjadi lebih serius dan lebih sering, dengan cuaca ekstrim yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia. Yang mengkhawatirkan, suhu global akan meningkat setidaknya 3 °C menjelang akhir abad ini — dua kali lipat apa yang telah diperingatkan para pakar iklim sebagai batas agar terhindar dari krisis kemanusaian. Dampak jangka dekat perubahan iklim akan meningkatkan keadaan krisis kehidupan umat manusia yang akan mencakup hilangnya nyawa, ketegangan sosial dan geopolitik dan dampak buruk ekonomi.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Survei Persepsi Risiko Global, masalah lingkungan menjadi peringkat tinggi risiko jangka panjang, tiga dari lima risiko teratas akibat dampak bersifat lingkungan. “Kegagalan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim” merupakan risiko nomor satu berdasarkan dampak dan nomor dua berdasarkan kemungkinan selama 10 tahun ke depan.

Selain itu, jaringan multi-stakeholder menilai "kehilangan keanekaragaman hayati" akibat kerusakan ingkungan  merupakan peringkat kedua yang paling berdampak dan ketiga untuk risiko dekade berikutnya. Tingkat kepunahan saat ini mencapai puluhan hingga ratusan kali lebih tinggi daripada rata-rata selama 10 juta tahun terakhir — dan ini semakin cepat. Hilangnya keanekaragaman hayati memiliki implikasi berat bagi kemanusiaan, mulai dari kegagalan sistem ketahanan pangan dan kesehatan hingga gangguan seluruh rantai pasokan.

Permasalahan yang timbul akibat ulah manusia yang melakukan tindakan dengan menganggap bumi sebagai obyek untuk di exploitasi bukan subyek untuk dijaga untuk kepentingan bersama secara berkelanjutan. Perilaku ini menyebabkan meningkatkan emisi GRK yang yang akan meningkatkan konsentrasi GRK total di atmosfer berada di atas batas normal yang mengakibatkan kenaikan suhu bumi.

Pemanasan global akan meningkatkan penguapan air permukaan bumi sehingga menimbulkan kekeringan ekstrim. Dengan temperatur yang lebih tinggi, maka jumlah uap air yang dikandung dalam udara akan meningkat pula, sehingga bila hujan akan sangat ekstrim yang mengakibatkan kerusakan. Inilah yang disebut perubahan iklim bumi ini akan menyebabkan cuaca bumi menjadi ekstrim (kekeringan yang ekstrim atau hujan yang ekstrim) yang merusak keseimbangan ekosistem sebagai pendukung kehidupan manusia dan seluruh mahluk bumi. 

Akibat perilaku manusia yang eksploitatif terhadap bumi telah mengakibatkan rusaknya keseimbangan ekosistem bumi. Hal ini akan berimbas pada manusia itu sendiri karena meningkatnya gagal panen serta kerentanan ketersediaan air dan pangan dunia yang meningkatkan potensi terjadinya kerusuhan sosial dan kerentanan keamanan nasional dan global. Allah SWT telah memperingatkan “Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”. (QS. Al-Baqarah [2]:60).

Fenomena cuaca ekstrim telah kita rasakan saat ini ditunjukan dengan tren Bencana Indonesia Tahun 2009-2019 dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menunjukkan bahwa:

·         Secara umum trend bencana meningkat.

·         Hingga 27 Desember 2019, telah terjadi 3.768 kejadian bencana.

·      Banjir, longsor kekeringan, puting beliung & kebakaran hutan & lahan masih tetap mendominasi bencana.

Terdapat keterkaitan yang erat antara perubahan iklim dengan aktivitas kehidupan umat manusia di bumi, serta dampak emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Ini telah menjadi perhatian negara-negara di dunia. Ketergantungan manusia pada bahan bakar fosil (batubara, minyak & gas bumi) yang mencemari udara dan kegiatan yang merusak lingkungan, telah menimbulkan “kabut” menumpuk dalam atmosfir yang berdampak pemanasan global yang merubah iklim bumi menjadi ekstrim. Pada surat Ad-dukhan [44]:10-11 Allah Swt telah meperingatkan akan datangnya kabut yang nyata yang akan mengakibatkan paceklik dan kekeringan. Turunnya kabut ini merupakan salah satu dari tanda-tanda datangnya kiamat. Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata. Yang meliputi manusia, inilah azab yang pedih. (QS. Ad-Dukhan [44]:10-11)

Dalam upaya dan untuk penanganan atas perubahan iklim, maka negara-negara bersatu di bawah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change - Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), untuk menemukan jalan terbaik dan kompromi-kompromi dalam berbagi peran dan kewajiban. Mitigasi dan adaptasi merupakan 2 (dua) aspek kegiatan yang digunakan sebagai instrumen utama dalam menangani dampak-dampak perubahan iklim.

 Pemahaman Tentang Persolan Lingkungan Hidup

Tantangan dan persoalan lingkungan merupakan merupakan tantangan relatif baru bagi umat manusia. Sebab itulah, belum banyak pemahaman yang layak diketahui oleh masyarakat banyak tentang kesadaran akan kerusakan lingkungan dan dampaknya bagi kehidupan. Planet bumi yang terlihat sangat luas terbentang, kadangkala membuat manusia lalai dan terlena dengan kesempurnaannya. Tetapi tanpa sadar, bahwa planet bumi ini, memerlukan perawatan dan kearifan dalam mengelolanya.

Krisis lingkungan hidup berdimensi banyak, namun sejatinya bersifat krisis moral di refleksikan dalam wawasan dan gaya hidup manusia modern yang sangat kurang mempertimbangkan penghidupan yang berkelanjutan. Pada titik inilah agama harus tampil berperan melalui bentuk tuntunan keagamaan serta direalisasikan dalam bentuk nyata dalam kehidupan sehari-hari umat manusia.

Krisis lingkungan hidup berdimensi banyak, namun sejatinya bersifat krisis moral di refleksikan dalam wawasan dan gaya hidup manusia modern yang sangat kurang mempertimbangkan penghidupan yang berkelanjutan. Manusia memandang alam sebagai obyek untuk dimanfaatkan semata bukan sebagai obyek yang perlu dipelihara untuk kelangsungan kehidupan manusia. Aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan tersebut, berdampak langsung pada lingkungan dan kehidupan manusia itu sendiri. Sumberdaya alam penting yang tak terbarukan, seperti air dan energi fosil semakin cepat terkuras. Kelangkaan sumberdaya air dan energi merupakan ancaman eksistensi kehidupan masa depan manusia. Karena itu, konservasi dan pelestarian sumberdaya sebagai penunjang hidup harus menjadi prioritas dengan merubah perilaku ramah lingkungan yang di realisasikan dalam tindakan nyata.

Penanganan krisis lingkungan yang bermuara pada krisis moral tersebut, perlu ditangani pendekatan moral. Pada titik inilah agama harus tampil berperan melalui bentuk tuntunan keagamaan serta direalisasikan dalam bentuk nyata dalam kehidupan sehari-hari umat manusia. Masjid merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk pembinaan moral keagamaan. Masjid bukan hanya semata-mata dijadikan sebagai sarana ibadah ritual (mahdhah), melainkan ia menjadi sarana dan sekaligus kekuatan dalam membangun dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dan pembaharuan kehidupan umat, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Memakmurkan masjid tidak bisa hanya dengan ceramah, perlu aksi nyata untuk membangun kemandirian umat dalam menghadapi ancaman kelangkaan air dan energi. Hal ini kita lakukan dengan orientasi pengelolaan masjid yang mandiri dan berkelanjutan pada aspek idarah (manajemen), imarah (kegiatan memakmurkan), dan riayah (pemeliharaan dan pengadaan fasilitas). 

Apa itu Masjid Berkelanjutan

Selain harus menghadapi isu lingkungan hidup dan perubahan iklim tersebut diatas, Indonesia berada di jalur cincin api (ring of fire) Pasifik sehingga guncangan berupa gempa bumi dan tsunami menjadi ancaman utamanya. Kondisi ini diperburuk dengan penambahan penduduk dunia diperkirakan mencapai 9,5 miliar jiwa pada tahun 2050. Meningkatnya jumlah penduduk menciptakan kebutuhan baru terhadap sumber daya dan berpotensi mengakibatkan gagalnya sistem dan fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut diatas akan meningkatkan kejadian berbagai bencana kemanuasiaan, berpotensi memperburuk Tekanan (stresses), dan menciptakan Guncangan (shocks) baru pada kehidupan masyarakat.

 Oleh sebab itu, masyarakat harus mampu melakukan tindakan mitigasi dan adaptasi dalam menghadapi perubahan agar dapat terus bertahan di masa depan. Pada dasarnya Tekanan merupakan kejadian yang terus melemahkan sistem dan fungsi penghidupan masyarakat, yang dapat berupa pencemaran, keterbatasan air bersih, buruknya sistem persampahan, buruknya kualitas udara, penggundulan hutan, penurunan muka tanah, narkoba, korupsi, kemacetan, buruknya manajemen sumber daya, dan rendahnya pelayanan dasar bagi masyarakat. Sedangkan Guncangan merupakan kejadian yang mengancam kehidupan masyarakat  seperti seperti banjir, kekeringan, kebakaran, wabah penyakit, gempa bumi, kerusuhan sosial, dll.

 

Program ecoMasjid bertujuan untuk merespons tantangan kehidupan tersebut diatas yang merupakan rintisan menuju Masjid berkelanjutan, yang dapat diartikan sebagai siapnya kapasitas individu, komunitas, dan sistem masjid untuk bersiap, beradaptasi, bertahan, dan menjadi lebih kuat menghadapi berbagai jenis tekanan dan guncangan yang dialami. Masjid dan komunitasnya perlu memiliki Rencana Tanggap Darurat untuk menghadapi Tekanan dan Guncangan yang saat ini berlangsung sebagai dampak pandemi Covid-19 serta kejadian lainnya dimasa mendatang yang di perkirakan akan semakin sering dan signifikan.

 

Pandangan ini mempromosikan tata kelola masjid terintegrasi dan mengarusutamakan prinsip kohesi sosial ke dalam paradigma penyediaan pelayanan umum, melalui tiga pilar utama:

1)  Masjid Siap, Masjid yang siap & mampu mengurangi dampak dan mampu menghadapi risiko bencana dan dampak perubahan iklim.

2)   Masjid Suci, Masjid suci & sehat yang menjamin akses air bersih, tata kelola sampah dan air limbah yang berkelanjutan

3) Masjid Terhubung, Masjid yang saling terhubung dalam  konektivitas dan jejaring dai, jamaah, dan masyarakat umum.

Penjabaran ketiga hal tersebut diatas, Insya Allah akan disampaikan pada tulisan selanjutnya.

 

Oleh: Dr. Hayu PrabowoSum

Share:
Hayu Susilo Prabowo Prabowo

Inisiator EcoMasjid dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI